Sabtu, 27 Desember 2008

Makna Cinta

Abu Nargis

Jika cinta sudah sempuna maka dia adalah Allah

( para urafa islam )

Aku beragama dengan agama cinta, sungguh aku menghadap (dengan) tunggangannya, maka cinta adalah agama dan imanku

( Ibnu Arabi )

Walau cinta merupakan masalah asli dalam irfan (tasawuf), akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak mampu memaknai dan mendefinisikan cinta. Ibnu Arabi yang mengaku bahwa cinta adalah agama serta imannya, akan tetapi tentang cinta ia berkata:

“Orang yang mendefinisikan cinta, berarti ia belum tahu arti cinta. Orang yang belum meminum anggur dari cawan, maka ia belum mengetahuinya rasanya. Orang yang berkata; aku telah telah merasakan isi cawan, dimana cinta adalah anggur, maka ia belum mengetahuinya jika belum meneguknya.”

Artinya jika seseorang belum mencinta maka ia tidak akan pernah tahu rasanya cinta. Cinta tidak bisa didefinisikan dengan definisi mantiqi, dan dengan satu kali merasakan cinta belum cukup baginya untuk bisa memahami rasa cinta, perjalanan yang tidak ada akhirnya dan manusia tidak akan sampai kepada akhir dan rasa hausnya terhadap cinta tidak akan pernah hilang. Dalam bukunya ‘ Futuhat Al-makiah’ Ibnu Arabi dengan belajar kepada sang maha guru, wali Allah swt. Yang mencinta dan dicintai olehNya, ia belajar dari Ali as. kekasih Allah, ia menuliskan:

Hati para pencinta Tuhan telah terbelah, mereka melihat keagungan dan kebesaran Tuhan dengan cahaya hatinya. Badan-badan mereka adalah alam ini, ruh-ruh mereka adalah alam malakut dan akal-akal mereka adalah langit. Mereka berbaris diantara barisan-barisan malaikat dan mereka menyaksikan dengan ainul yakin. Dengan kemampuannya yang mereka miliki, mereka menyembah-Nya, tapi itu bukan kerana rakus terhadap surga dan takut terhadap neraka, akan tetapi karena mereka mencintai-Nya.”

Ucapan terakhir Ibnu Arabi, menjelaskan tentang tanda dan ciri-ciri dasar ibadah dan riadhah ( latihan bathin ) para arif. Dikalangan para arif muslim ( tanpa melihat para Maksumin as. yang merupakan maha guru mereka ) Rabiah Adawiah ( 135 H ) salah seorang wanita sufi yang pertama kali meraih tahapan ini dalam irfan islam berkata :

“ Tuhanku! Jika kami menyembahMu karena takut kepada api neraka, maka masukkanlah kami ke dalamnya!. Dan jika kami menyembahMu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah kami darinya. Akan tetapi jika kami menyembahMu karena kecintaan kami terhadapMu, maka abadikanlah KeindahanMu dengan kami!”

“ Ilahi! Jika Engkau berikan kepadaku dunia, maka berikanlah itu kepada musuh-musuhku!, jika Engkau berikan akhirat kepadaku, maka berikanlah itu kepada sahabat-sahabatku!. Karena bagiku cukup DIRIMU”

( Tadzkirah Al-Auliya, jilid 1, hal. 73 )

Masalah ini sampai saat sekarang menjadi pembahasan di kalangan para arif islam, dimana setiap bertambah ibadah dan riadhah, maka semakin sedikit tujuan-tujuan selian Allah swt. Baik tujuan dunia maupun tujuan akherat tidak lagi menjadi harapan kaum arif hakiki, hanya satu tujuan yaitu untuk sampai ke haribaan yang maha Indah.

Inilah kecintaan kepada kesempurnaan sang Kekasih, dan pasti sadar akan kebesaran dan keindahan Haq Ta’ala. Karena tanpa mengetahui dan sadar akan keagungan dan keindahan Tuhan, maka kecintaan itu mustahil akan tumbuh. Dan para arif meyakini bahwa keagungan inilah yang menjadi sumber terciptanya alam semesta. Ketika keagungan tersebut hendak ditampakkan, maka cermin, jelmaan dan tajalli keagungan pun tanpak juga. Cinta adalah jelmaan dari keindahanNya, walau seandainya pun tidak ada pencinta lain, akan tetapi cukuplah keindahan yang dimilikiNya menjadi yang dicintaNya.

Tentang masalah cinta, Dr. Qasim Ghani berkata : keyakinan para arif tentang cinta adalah, bahwa cinta merupakan gharizah ( insting ) Ilahi dan ilham dari langit. Dengan menelusurinya manusia akan mengetahui diri dan nasibnya. Ruh bersumber dari Tuhan, sebelum diciptakan dunia ruh sudah berada disisi Tuhan, oleh karenanya kecintaan terhadap dunia adalah kecintaan yang asing dan jauh dari rumah aslinya, hal ini selalu menjadi pikiran dan tempat asli mereka. Masalah ini kita dapatkan pada kisah-kisah cinta dan syair-syair sufi, seperti kisah cinta Laila dan Majnun, Yusuf as. dan Julaiha, Wamiq dan Adzra, Syirin dan Farhad, Salaman dan Isal dan kisah cinta lainnya… ( Tarikh Tasawus dar islam, hal. 338-340 )

Kecintaan terhadap Tuhan, melazimkan kita juga untuk mencintai para kekasih hakikiNya. Jelmaan dan dzuhur tertinggi dari wujud Haq yang maha Tinggi adalah wujud Rasulullah saww. Dan para Imam as. Seorang arif mutaakhir berkata :

sekiranya dadaku dibelah

Di tengahnya kan terlihat dua garis

Yang digoreskan tenpa seorang penulis

Tauhid dan keadilan pada garis yang satu

Dan cinta pada Ahlul Bayt pada garis yang lain.

Senin, 22 Desember 2008

DZIKRULLAH DAN MEDITASI

Kata Arab untuk ingatan ialah dzikr. Ada beberapa jenis atau tingkatan ingatan. Ada ingatan akan hal-hal fisik yang berada di depan kita, dan ada ingatan akan hasrat, kecemasan, dan sebagainya.

Sepanjang jalan rohani, ingatan berhubungan dengan apa yang berada dalam fitrah manusia.Yakni ingatan akan Hakikat Allah Yang Mahakuasa, Sumber segala wujud dan sifat. Sumber itu berada dalam diri setiap orang. Pada jalan sufi, orang dituntut untuk tidak mengingat segala sesuatu lainnya yang dapat dilihat, segala sesuatu selain Allah, untuk kembali kepada ingatan yang sejati, Allah. Kata Arab untuk ingatan kepada Allah ialah Dzikrullah.

Jadi, ingatan sejati akan Allah telah ada dalam setiap hati, baik orang menyadarinya atau tidak. Melalui bimbingan seorang guru rohani, si pencari dibawa ke luar, ke suatu tingkatan di mana tidak ada ingatan akan apa pun yang dapat disebutkan. Kemudian apa yang telah selalu ada di sana, meliputi segala sesuatu, dialami dan disaksikan dengan jelas. Tujuan praktik sufi adalah untuk secara spontan sadar akan hakikat mutlak seraya tetap menyadari keterbatasan fisik dan material dari dunia fenomena yang mengelilingi kita. Yang pertama adalah kesadaran batin di luar indera, dan yang kedua adalah kesadaran lahiriah yang berdasarkan indera. Jadi, tujuan seorang guru sufi ialah memberikan praktik- praktik yang sesuai kepada muridnya dan mengawasi hasilnya.

Secara umum, sekitar dua jam dibutuhkan untuk mencapai maslahat Dzikrullah. Dalam setengah jam pertama pelaku berusaha menenangkan pikirannya. Selama setengah jam berikutnya, ia mulai memasuki keadaan meditasi. Pada setengah jam ketiga biasanya tidak ada pikiran atau pandangan batin, dan meditasi pun berlangsung. Selama setengah jam terakhir, manfaat nyata mulai muncul. Meditasi yang benar mulai bila seluruh kesadaran berangsur hilang dan keberadaan sederhana yang lebur muncul.

Setiap kesadaran selama Dzikrullah merupakan rintangan untuk memasuki alam kesadaran murni. Kesadaran murni tak dapat dibicarakan. la harus dialami, dan merupakan keadaan maujud.

Umumnya, semua proses mental dipandang sebagai kesadaran rendah. Semua aspek kehidupan fisik, material, dan kausal termasuk dalam kategori ini. Pikiran abstrak dan emosi dipandang sebagai lebih halus dan karena itu lebih tinggi. Dalam semua persepsi manusia ada skala kesadaran. Skala dalam kesadaran kita tentang pendengaran, penglihatan, pengertian dan sebagainya. Jadi kesadaran mengiuti skala vertikal. Orang dapat mengatakan hal yang sama tentang sifat-sifat Tuhan. Ada beberapa sifat yang berhubungan dengan mekanisme fisik yang menguasai zat, yang semuanya terserap oleh perintah Ilahi.

Kesadaran fisik berhubungan dengan zat dan massa, dan skala kesadarannya rendah karena ia kasar. Pada skala yang lebih tinggi ialah kesadaran pikiran, seperti perasaan, emosi, dan misalnya, ketidaksukaan akan sakit fisik. Lebih tinggi lagi adalah kesadaran intelektual akan nilai-nilai moral, perasaan akan keadilan dan persaman, dan seterusnya.

Tujuan seorang sufi ialah naik ke janjang yang lebih tinggi dari semua kesadaran intelektual. Dalam keadaan meditasi, pada awalnya, ada kesadaran akan jasad fisik. Kemudian jasad itu dilupakan, tetapi masih ada kesadaran tentang gagasan dan pikiran. Melalui teknik meditasi konsentrasi satu arah, semua gagasan dan pikiran dihaluskan. Di luar itu ialah keadaan kesadaran murni atau tertinggi di mana tidak ada kesadaran terhadap sesuatu yang dapat dilihat. Inilah kesadaran sederhana yang tak terlukiskan. Adapun ini bukanlah akhir dari latihan meditasi, tetapi sebenarnya menandakan suatu permulaan baru. Akhjr dari semua pikiran adalah awal dari suatu dimensi baru.

Perumpamaan untuk proses meditasi ialah proses tidur. Apabila seseorang hendak tidur, ia mulai dengan melipat kain penutup lalu naik ke tempat tidur. Setelah itu bersiap untuk santai dan secara berangsur-angsur hilang kesadaran pikirannya sampai kesadaran fisik berakhir sama sekali. Tidur, sebagaimana meditasi, adalah bersifat subjektif dan eksperimental. Ha1 itu harus terjadi, dan tidak dibicarakan. Tahap akhir dari meditasi tak dapat dilukiskan karena berhubungan dengan kesadaran murni. Setiap yang dapat digambarkan termasuk ke dalam wilayah dunia fisik. Kenyataan bahwa orang yang berbicara tentang pengalaman memberikan batasan-batasan kepadanya. Begitu orang me- masuki zona kesadaran yang lebih tinggi, ia tidak menyadari apa pun secara spesifik. Awal dari kesadaran yang lebih tinggi ialah akhir dari kesadaran lain. Maka, gambaran dan pembicaraan tentang itu juga berakhir. Memang ini suatu keadaan menakjubkan yang tak terlukiskan, luas dan tak berbatas waktu serta nondimensional. Bahagia!

Rabu, 17 Desember 2008

Tasawuf

A. Pendahuluan

Tasawuf sebagai amalan praktis para sufi atau sebuah disiplin ilmu yang telah mendapat perhatian luas dan dalam dari para ilmuan secara umum dan peneliti tasawuf secara khusus. Diantara mereka seperti yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyah ada yang melihat tasawuf sebagai suatu yang tanpa kebatilannya. Tetapi ada juga yang melihat secara objektif, berdasarkan panduan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, tasawuf merupakan sebuah disiplin ilmu agama yang baru seperti hal nya ilmu Ushul al-fiqh, Musthalah al-hadits dan lain-lain. Karena eksistensinya sebagai salah satu metode (cara) perbaikan akhlak yang ajarannya mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT yang sangat urgen bagi perbaikan umat dari berbagai pelanggaran dan kejahatan, maka tidak heran jika ilmu tasawuf terus berkembang dan menjadi menarik untuk di teliti dan dipelajari.

Ada yang beranggapan bahwa tasawuf merupakan sebuah ajaran yang ada dasarnya. Hal itu dapat di benarkan karena jika tasawuf dipandang sebagi sebuah keyakinan, namun jika tasawuf dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan sebagaimana hal nya ilmu-ilmu lain mungkin kedudukannya dapat disamakan seperti hal nya ilmu-ilmu social yang berkembang sekarang. Ilmu tasawuf memang sangat berbeda dengan ilmu-ilmu yang lainnya, adapun yang membedakannya adalah dari segi metode dan orang yang mengamalkannya karena ilmu ini bersifat aplikatif bukan teori belaka.

Tasawuf merupakan ajaran keruhanian yang menekankan kepada kesucian jiwa, hati (qalbu) dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli yang ditempuh melalui riyadah dan dilakukan secara kontinyu, baik melalui dzikrullah, kontemplasi serta amalan-amalan lainnya.

Dari uraian diatas maka penulis mencoba untuk menguraikan tentang metode-metode yang akan dilalaui ketika seseorang akan mengamalkan ilmu tasawuf atau sufi, dan dalam mengruaikan metode tersebut penulis mengungkapkan secara umum yaitu metode yang sering di pakai oleh kaum sufi.

B. PEMBAHASAN

a. Pengertian dan Asal Usul Tasawuf

Ada sejumlah pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli, baik dari kalangan sufi (pengamal ajaran tasawuf) maupun yang bukan, terhadap kata tasawuf. Namun demikian tidak mungkin mencantumkan semua definisi dalam makalah ini, karena sebagian definisi memiliki kesamaan arti dengan definisi yang lain, meskipun menggunakan redaksi yang berbeda.

Untuk tujuan kejelasan arti kata tasawuf atau shufi, diperlukan penelusuran terhadap asal-usul penggunaan kata tersebut. Dengan penelusuran ini, diharapkan akan memberikan gambaran yang jelas akan makna kata tasawuf yang sesungguhnya. Setelah itu dilihat pula beberapa definisi yang telah dirumuskan oleh para ahli.

Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal-usul penggunaan kata tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut dinisbahkan kepada perkataan ahl al-shuffah, yang artinya; nama yang diberikan kepada sebagian fakir miskin di kalangan orang-orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka mereka menempati gubuk yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW di luar masjid Madina[1]. ahl al-shuffah juga merupakan orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi SAW dari Mekkah ke Madinah, dan karena kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan tidak punya apa-apa. Mereka tinggal dimasjid Nabi SAW dan tidur diatas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal, pelana itulah disebut Suffah. Sifat tidak mementingkan dunia, Sungguh pun miskin tetapi berhati baik dan mulia itulah sifat-sifat kaum Sufi [2].

Ada yang mengatakan bahwa kata tersbut berasal dari kata Shafa yang berarti suci. Dengan demikian mereka memiliki cirri khusus dalam aktifitas dan ibadah mereka yaitu atas dasar kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka selalau memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat [3].

Selanjutnya, ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari kata Shaff yang berarti barisan, artinya menggambarkan orang-orang yang selalu berada dibarisan depan dalam beribadah kepada Allah SWT dan dalam melaksanakana kebajikan. Suatu kaum berkata bahwasanya mereka menamakan shufiyah karena mereka berada pada barisan (shaf) terdepan disisi Allah ‘Azza wa Jalla dengan ketinggian cita-cita mereka kepada-Nya dan ketegaran (ketetapan) hati mereka di sisinya[4].

Ada yang menisbahkan kata tersebut kepada ash-shufu yang berarti bulu atau wol kasar. Hal ini Karena para sufi mengkhususkan diri mereka dengan memakai pakaian yang berasal dari bulu domba. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi, wol yang kasar dan bukan wol yang halus seperti sekarang. Memakai wol pada waktu itu adalah simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Kaum sufi sebagai golongan orang yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pakain-pakaian yang mewah seperti sutera halus yang pada zaman itu merupakan pakai yang dipakai oleh kaum bangsawan dan sebagai gantinya memakai pakaian wol yang kasar[5].

Selanjutnya ada sebagian lagi berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari bahasa yunani yaitu saufi. Kata ini disamakan maknanya dengan kata hikmah yang berarti kebijak sanaan. Kata Sophosi dalam bahasa yunani menunjukkan kondisi jiwa yang senantiasa cendrung kepada kebenaran[6].

Dan masih ada pendapat lain yang menghubungkan kata tasawuf tersebut dengan perkataan-perkataan lain yang dapat dirujuk dalam buku-buku tasawuf. Yang jelas dari segi bahasa atau dari asal-usul penggunaan kata tersebut dapat dikatakan bahwa kata tasawuf berkonotasi pada kebajikan, kesucian hati dari godaan hawa nafsu, memutuskan ketergantungan dengan kehidupan material yang dapat menggangu hubungan dengan Tuhan, hidup dalam kezuhudan dan menenggelamkan diri dalam ibadah sehingga semakin dekat dengan-Nya.

Secara terminologi, tasawuf juga diartikan beragam sebagaimana didalam mengartikan tasawuf secara bahasa. Hal ini dikarenakan perbedaan memandang aktifitas-aktifitas para kaum sufi. Berikut ini beberapa pengertian yang diformulasikan oleh ahli-ahli tasawuf.

Ma’ruf al-karkhi sebagaimana di kutip dalam bukunya H.M Jamil mengatakan tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di tangan mahluk. Definisi ini menggambarkan bahwa tasawuf berupaya mencari hakikat kebenaran dengan meninggalkan kesenangan duniawi. Kesenangan duniawi tidak menjadi perhatian dan bahkan dijauhi karena dapat mengganggu ibadah dan hubungan dengan Allah SWT [7].

Abu Bakar Al-Kattani sebagaimana yang dikutip oleh Imam Al-Ghazli, berkata “Tasawuf adalah budi pekerti. Barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu berarti ia memberi bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena mereka sesungguhnya telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur)Islam. Dan orang-orang zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan sebagian akhlak, karena mereka telah melakukan suluk denganpetunjuk (nur) imannya” [8].

Dari pengertian ini terlihat bahwa tasawuf berkonsentrasi pada masalah akhlak yang terpuji sebelum memasuki dunia tasawuf.

Muhammad Amin Kurdi dalam bukunya H.M. Jamil bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang dengan diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk dengan perjalanan menuju (keridhaan) Allah SWT dan meninggalkan (larangan-larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya)[9]. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa tasawuf berkutat pada kegiatan-ketiatan pembersihan jiwa, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara-cara suluk dan mendekatkan diri dan berada di hadirat Allah SWT.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli-ahli tasawuf maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk mendefenisikan tasawuf setidaknya ada tiga sudut padang yang digunakan yaitu; pertama, sudut padang manusia sebagai mahluk yang terbatas, maka dalam hal ini tasawuf didefenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara-cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT. Kemudian Kedua, sudut pandang manusia sebagai mahluk yang harus berjuang, tasawuf didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan dari sudut pandang yang Ketiga, Manusia sebagai mahluk yang bertuhan, maka tasawuf didefinisakan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan [10].

Maka jelaslah sudah pendefenisian tasawuf baik secara bahasa maupun istilah namun dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaiman cara mendekatkan diri dengan Allah SWT dengan sedekat-dekatnya bahkan kalau bisa menyatu dengan-Nya, merasakan kehadiran-Nya, berdialog dan dengan Nya.

b. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf dalam Al-Qur’an

Ajaran tasawuf pada dasarnya berkonsentrasi pada kehidupan rohaniyah, mendekati diri kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan kerohanian seperti pembersihan hati, zikir, ibadah lainnya serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga mempunyai identitas tersendiri dimana orang-orang yang menekuni-nya tidak manaruh perhatian yang besar pada kehidupan dunia bahkan memutuskan hubungan dengannya.

Al-Qur’an al-Karim adalah kitab yang didalamnya ditemukan sejumlah ayat yang berbicara atau paling tidak berhubungan dengan hal-hal tersebut diatas, yaitu tentang bagaimana seharusnya melihat kehidupan di dunia, al-Qur’an diantaranya menegaskan:

Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah orang yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (QS. Fathir: 5).

Kemudian Al-Qur’an Mengajarkan agar orang-orang yang beriman senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan diri (Taubat):

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). (At-Tahriim: 8)

Berhubunngan dengan kedekatan Tuhan dengan Manusia, Al-Qur’an diantaranya menginformasikan:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Q.S: Al-Baqarah: 186)

Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,(Q.S: Qaaf: 16)

c. Dasar-Dasar Ajaran Tasawuf dari Sunnah Rasulullah SAW

Disamping riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW setiap bulan Ramadhan bertahannus di Gua Hira untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati serta hakikat kebenaran ditengah-tengah keramaian hidup, ditemukan sejumlah hadis yang memuat ajaran-ajaran tasawuf, diantarannya adalah hadis-hadis berikut ini.

Dalam sebuah hadis qudsi dikatakan bahwa Nabi SAW. bersabda: “sesungguhnya Allah berkata:”siapakah yang memusuhi wali (hamba kekasih) Ku, maka aku akan menyatakan perang kepadanya. Seorang hamba yang mendekatkan diri (kepada-Ku) lebih aku cintai dari pada apa yang aku wajibkan kepadanya. Ketika aku mencintainya, aku menjadi Pendengarnya atas apa yang sedang didengarkannya, menjadi penglihatannya atas apa yang sedang dilihatnya, menjadi tangannya atas apa yang digenggamnya, dan menjadi pejalannya atas perjalanan yang dilakukannya. Apa bila dia meminta pada-Ku, Aku akan memberinya; dan apabila dia memohon ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuninya”. (HR. Bukhari Muslim)[11].

Kemudian dalam hadis-hadis lain;

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w lalu berkata: Wahai Nabi Allah berwasiatlah kepadaku. Nabi bersabda: Bertakwalah kepada Allah karena, itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihatlah, karena itu kehidupan seorang ruhbani muslim, berzikirlah, karena itu adalah nur (cahaya) bagimu”. (Riwayat Bukhari)[12].

Kemudian di hadis lainnya;

“Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ayat-ayat dan hadis-hadis yang dikutip diatas sebagian kecil dari jumlah ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengemukakan hahal kehidupan ruhaniyah yang ditemukan dalam tasawuf. Kehidupan yang didominasi oleh takut dan harap, kezuhudan, berserah diri kepada Tuhan, bersyukur, bersabar dan redha serta takut, “intim” dengan Allah SWT. Kehidupan seperti inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri serta para sahabat-sahabatnya.

Karena itu, setelah mengutip sejumlah ayat yang berhubungan dengan ajaran-ajaran tasawuf dan menjelaskannya, Muhammad Abdullah asy-Syarqawi mengatakan: “dari penjelasan ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa awal mula tasawuf Islam dapat ditemukan semangat ruhaniyah dalam Al-Qur’an al-Karim, sebagaimana juga ditemukan dalam sabda Rasulullah s.a.w, baik sebelum maupun sesudah diutus menjadi Nabi. Awal mula tasawuf Islam juga dapat ditemukan pada masa sahabat Nabi s.a.w, beserta para generasi sesudahnya (tabi’in)[13].

Maka para sufi (orang-orang yang menggeluti tasawuf) dalam teori-teori mereka tentang akhlak, kerinduan, kecintaan, ma’rifat, suluk dan latihan-latihan rohaniyah mereka untuk terealisasinya kehidupan mistis, pertama-tama sekali mendasarkan pandangan mereka kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

d. Tujuan Tasawuf

Bagi para sufi, tidak ada tujuan lain dalam bertaqarrub kepada Allah, kecuali bertujuan hanya untuk mencapai “Ma’rifat billah” (mengenal Allah) dengan sebenar-benarnya dan tersingkapnya dinding (hijab) yang membatasi diri dengan Allah SWT.

Adapun yang dimaksud dengan tujuan tercapainya kesempurnaan hidup dan ma’rifatullah dalam pandangan tasawuf adalah:

a. Ma’rifat billah, yakni melihat Tuhan dengan hati mereka secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan kebesarannya, tapi tidak dengan kaifiyat artinya Tuhan digambarkan seperti benda atau manusia ataupun yang lain dengan ketuntuan bentuk dan rupa.

Imam Al-Ghazali pernah menyampaikaan pengalamannya untuk memperkuat pembicaraannya tentang ru’yah dengan katanya sebagai berikut; “Begitu nyata sebagai saya kenal Tuhan itu di dunia ini dengan ma’rifat hakikat yang sempurna dengan tidak berupa dengan tidak berupa gambar dan khayal, dengan tidak ada demikian kelak di akhirat” [14].

Jadi dari pernyataan tersebut tentang ma’rifat billah maka dapat dikatakan bahwa makrifat billah merupakan suatu pemberian Tuhan pada hati yang bersih dan dapaat menghilangkan tabir yang memisahkan antara mahluk dengan khaliq, dan makrifat billah tetap bisa dicapai apabila hati bersih dan terhindar dari segala kotoran perbuatan maksiat.

b. Insan Kamil, yakni tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan, manusia mengenal dirinya sendiri, kaberadaannya dan memiliki sifat-sifat utama. Dalam memandang Insan kamil ini para sufi mempunyai pandangan yang berbeda, namun secara umum pencapai Insan kamil di dalam bertasawuf adalah Wihdatul wujud. Tidak ada lagi sifat kemanusiaan di dalam diri manusia, namun yang ada adalah Allah SWT [15].

Jadi bisa diambil pengertin yang sederhana bahwa insan kamil adalah manusia yang berjiwa sempurna yang dekat dengan Allah SWT, ia sudah dianggap cakap untuk menerima perihal merasakan kehadiran Allah SWT.

e. Maqamat-Maqamat Dalam Tasawuf.

Maqamat diartikan sebagai stasiun-stasiun yang dilalui oleh para sufi dalam melaksanakan perjalanan panjang bermujahadah kepada Allah SWT. Setiap stasiun yang dilalui oleh para sufi berbeda tingkatannya, namun secara umum ada pun stasiun-stasiun tersebut secara ringkas dijelaskan adalah sebagai berikut;

1. Maqam taubat

Taubat adalah memohon ampun, tidak mengulangi kembali dosa-dosa. Langkah pertama adalah tobat dari dosa besar dan kecil. Taubat yang sebenarnya dalam dunia tasawuf adalah melupakan segala hal kecuali kepada Allah. Mencintai Allah dan orang yang mencintai Allah senantiasa akan mengadakan hubungan dan kontempalasi tentang Allah.

2. Zuhud

Untuk memantapkan taubat, calon sufi haruslah zuhud, yaitu meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Dalam sejarah, zuhud ada dikalangan umat Islam sebelum tasawuf, sebagai reaksi pada abad I dan II hijriah terhadap kehidupan mewah yang melanda masyarakat, terutamadari kalangan keluarga kerajaan dan kaum bangsawan. Sebagaian Umat Islam, membandingan kehidupan saat itu dengan kehidupan Rasul yang sederhana dan bersahaja. Mereka ingin menghayati dan mempertahankan kesederhanaan seperti Rasul dan para sahabatnya, kemudian mereka mengasingkan diri dari tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Ajaran zuhud itu sendiri sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai meninggalkan dunia secara mutlak, tetapi merupakan sikap jiwa yang tidak meletakkan kehidupan dunia sebagai tujuan. Dunia dipandang sebagai alat untuk merealisasi tujuan yang hakiki, yaitu taqarrub kepada Allah.

3. Wara’

Wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang di dalamnya ada unsur subhat (keraguan) tentang kehalalannya. Dalam dunia tasawuf ketika seseorang telah mencapai wara, maka tangannya tak dapat diulurkan untuk mengambil suatu yang di dalamnya ada unsur subhat.

4. Kefakiran

Kefakiran dalam istilah sufi adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada dirinya. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban, bahkan tidak meminta kendatipun tak ada pada diri kita. Kalau di beri diterima, tidak meinta, tidak menolak.

5. Sabar

Sabar dalam menjalan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya, menerima segala musibah, cobaan dan ujian yang ditimpakan kepadanya seraya menunggu pertolongan dari Allah SWT.

6. Tawakal

Tawakal adalah menyerahkan kepada qadha dan putusan Allah. Sikap tawakal kaum sufi adalah menerima pemberian dengan rasa syukur. Kalau tidak dapat apa-apa, bersikap sabar dan meyerah kepada qadha dan qadarnya Allah. Sikap ini ditampilkan kaum sufi dengan tidak memikirkan hari esok, tetapi cukup dengan apa yang ada untuk hari ini.

7. Ridha (kerelaan)

Ridha adalah tidak menentang qadha dan qadarnya Allah, melainkan menerima dengan senang hati, sehingga seorang sufi akan merasa senangbaik ketika menerima nikmat maupun ketika menerima malapetaka. Kerelaan ditampilkan dalam bentuk penerimaan terhadap apa yang terjadi, mereka tidak meminta dimasukkan ke dalam syurga tapi juga tidak minta dijauhkan dari neraka.

8. Mahabbah

Di maqamat ridha, kaum sufi telah dekat dengan Tuhan dan rasa cinta yang menggelora kepada Tuhan, membawanya pada cinta ilahiyah. Cinta pada Allah ditampilkan dalam bentuk kepatutan tanpa pamrih, penyerahan diri total dan pengosongan hati dari segala sesuatu kecuali Allah. Hati yang mahabbah, dipenuhi dengan cinta, sehingga tidak ada tempat untuk benci kepada apa dan siapapun. Ia mencintai Tuhan dan segenap mahluk-Nya. Para sufi dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya, sehingga para sufi telah sampai pada maqamat ma’rifat.

9. Ma’rifat

Ma’rifat artinya mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan, tetapi ia belum puas dengan berhadapan, ia ingin lebih dekat lagi bersatu dengan Tuhan, menurut ahli tasawuf ma’rifat dapat diperoleh sufi melalui alat yang disebut sir, dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia memiliki 3 alat, yaitu qalb untuk mengetehui sifat-sifat Tuhan, ruh untuk mencapai Tuhan dan sir untuk melihat Tuhan.

10. Al-Fana wal Baqa

Pada maqam ma’rifat, seorang sufi telah dekat sekali dengan Tuhan, tetapi ia belum puas dengan berhadapan, ingin dekat lagi dan bersatu dengan Tuhan. Sebelum seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan terlebih dahulu ia harus menghancurkan dirinya, selama ia masih belum menghancurkan dirinya (masih sadar akan dirinya), ia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhannya. Pengahncuran ini disebut fana, penghancuran dalam istilah sufi selalu di iringi dengan baqa. Fana yang dicari kaum sufi adalah penghancuran diri, yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Kalau sufi telah merasakn fana an-nafs, yaitu jika wujud jasmaniahnya tidak ada lagi (dalam artian tidak disadarinya lagi), maka yang akan tinggal adalah wujud ruhaninya dan ketika itu ia dapat bersatu dengan Tuhannya.

11. Al-ittihad

Dengan hancurnya kesadaran diri seorang sufi, tinggalah kesadaran tentang Tuhan, ia pun sampai ketingkat ittihad, yaitu suatu tingkatan dimana seorang sufu merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka memanggil yang lainya dengan kata-kata: Wahai Aku, muncullah ungkapan sufi yang terasa ganjil yaitu; Aku adalah Engkau, Engkau Adalah Aku, melalui diri-Nya aku berkata; Hai Aku.

Disinilah sufi telah mencapai tujuan akhirnya, sampai kepada tuhan, bahkan menyatu dengan Tuhan. Para ahli syariat Islam, menyatakan bahwa ajaran seperti ini telah keluar dari Islam. Untuk mencapai maqamat-maqamat di atas tidaklah mudah, perlu riyadhah (latihan terus menerus).

f. Riyadlah Dan Tingkatan Yang Ditempuh Dalam Tasawuf

Dalam ilmu tasawuf sebagai usaha menyingkap tabir (hijab) yang membatasi diri dengan Tuhan, oleh para ahli sufi telah disusun suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk riyadlah nafsi[16], dalam rangka mencapai tujuan musyahadatillah[17]. Sistem ini merupakan dasar didikan dalam riyadlah bagi para sufi pada tahap awal yang tersusun dalam tiga tingkatan yaitu dinamakan dengan takhalli, tahalli dan tajalli.

Adapun ketiga istilah tersebut dijelaskan secara singkat dibawah ini;

1. Takhalli

Takhalli adalah membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran hati, maksiat lahir dan maksiat batin. Adun maksiat lahir yaitu segala perbuatan yang dikerjakan oleh anggota badan manusia yang akibatnya merusak diri sendiri atau orang lain sehingga membawa korban harta, benda, fikiran dan perasaan. Jadi maksiat lahir menimbulkan kejahatan-kejahatan yang merugikan seseorang atau diri sendiri bahkan merugikan masyarakat. Ada pun perbuatan tersebut seperti, mencuri, korupsi, menganiaya dan sebagainya. Sedangkan maksiat batin adalah dorongan hawa nafsu untuk berbuat kejahatan, tidak bermoral dan ingkar terhadap Allah SWT.

Kedua maacam maksiat tersebut selalu membelenggu manusia dan cendrung membuat manusia ingkar kepada Tuhannya. Para sufi berusaha dengan sungguh-sungguh dalam meninggalkan/membersihkan diri dari kotoran tersebut. Menurut para sufi untuk membuka hijab yang membatasi manusia dengan Allah SWT yang kotor terhadap kehidupan manusia ada 3 macam yaitu;

1. Mensucikan diri dari najis dan hadas

2. Membersihakan diri dari dosa lahir yaitu; mulut yang berdusta dan ghibah, mata yang biasa melihat yang haram, telinga yang biasa mendengar cerita bohong, hidung yang biasa menimbulkan rasa benci, tangan yang bisa rusak, kaki yang biasa berjalan berbuat maksiat, kemaluan yang biasa bersyahwat atau berzina (termasuk perut yang biasa di isi dengan barang haram)

3. Mensucikan dari dosa batin.

Adapun yang menjadi dasar bahwa para sufi bertakhalli adalah firman Allah SWT ;

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. ( As Syams: 9-10)[18].

2. Tahalli

Tahalli adalah mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin. Sifat-sifat terpuji yang harus mengisi jiwa adalah adil, belas kasihan, beramal shaleh, berani, berbaik sangka, berbudi pekerti luhur, berjiwa kuat, bersikap, berlaku benar, berbuat baik, bertindak baik, berjiwa bijaksana, dapat dipercaya, ikhlas, mahabbah, manis muka, menepati janji, menjauhi maksiat, menghormati tamau, menyambung tali silaturahmi, menyimpan rahasia, mencegah kejahatan, merendah diri dihadapan Allah dan dengan siapa saja, pemaaf, penyantun, penolong dalam kebaikan, penunjuk jalan yang benar, sabar, tidak pemarah, suka berzikir, zuhud dan masih banyak lagi yang lain.

Adapun yang menjadi dasar dalam bertahalli adalalah firman Allah SWT;

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. ( QS. An-Nahl: 90)

Manusia yang telah mengosongkan hatinya (setelah dibersihkan dari sifat-sifat tercela) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas. Ikhlas berbuat kebaikan, memberi pertolongan dan bantuaan menurut kemampuannya. Seluruh hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari keridhoan Allah semat-mata. Karena itulah manusia seperti ini dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan Allah senantiasa memberikan rahmad dan perlindungan kepadanya.

3. Tajalli

Tajalli adalah merasakan akan rasa ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan. Jadi inti dari tajalli ini adalah lenyapnya/hilangnya hijab dari sifat-sifat kebasyiraan, jelasnya Nur yang selama ini ghaib, fana’nya/lenyapnya segala yang lain ketika nampaknya wajah Allah.

Dasar dari tajalli adalah

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An Nur : 35)[19]

Tajalli terbagi 4 tingkatan sebagaimana didalam kitab Insan kamil sebagaimana di kutif oleh Masfuk zuhri yaitu;

a. Tajalli Af’al, yaini hilangnya/kenyapnya fi’il dari seorang hamba dan yang ada fi’il Allah semata-mata. Dalam Af’al-Nya di ibaratkan dimana penglihatan seorang hamba Allah melihat pada-Nya berlaku qudrat Allah pada sesuatu. Ketika itu dia melihat Tuhan, maka tiada fi’il lagi sang hamba. Gerak dan diam serta isbat adalah bagi Allah semata-mata.

Hal ini sesuai dengan fiman Allah;

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. ( Q.S. Ash Shaffat: 96)

b. Tajalli Asma

Tajalli asma adalah fana’nya seorang hamba daripada dirinya dan bebasnya daripada genggaman sifat-sifat kebaharuan dan lepasnya ikatannya daripada dirinya/tubuh kasarnya, ketika itu dia fana[20] kedalam baqa’nya[21] Allah karena telah sucinya ia dari sifat-sifat kebaharuan.

Lebih jelasnya, tajalli asma ini dikemukakan oleh Syeikh Daud bin Abdullah al fathani yang dikutif oleh mastafa zuhri, bahwa tajalli asma adalah pembukaan bagi si salik setengah dari asma Allah maka jadi hilanglah si salik itu di bawah pancaran cahaya isim (nama) itu kira-kira jadilah apabila diseru oleh Haq dengan nama itu niscaya disahutnya[22].

c. Tajalli sifat

Tajalli sifat adalah pembukaan salah satu sifat-Nya pada hati si salik, terjadinya kemudian dari pada ”fana’ sifat”. Apabila seorang salik mengalami tajalli sifat ini maka dia akan merasakan semua yang maujud bersuara seperti binatang, kayu, batu dan lain sebagainya.

d. Tajalli Zaat

Tajalli zaat adalah sesungguhnya zat Tuhan itu menyatu kepada sang salik. Artinya pada diri manusia terjadi penyatuan dan tiada zat yang ada kecuali zat Allah.

Pada tahapan ini si salik memang benar-benar hilang dari ke insanannya, yang ada hanya Allah SWT. Tiada ada yang ada dialam ini kecuali Allah. Inilah yang diaungkapkan oleh si salik sehingga mengungkapkan; “Aku adalah Engkau, Engkau Adalah Aku, melalui diri-Nya aku berkata; Hai Aku.

Urain tentang riyadlah setidaknya dapat memberikan gambaran tentang suatu perjalan yang dilakukan oleh seorang sufi dalam mencapai tingkat menyadari akan kehadiran Allah dalam didalam diri manusia. Dalam usaha pencapaian tersebut terdapat syari’at, tariqat, hakikat dan ma’rifat[23]. Untuk syari’at berada pada tahapan takhalli sedangkan tariqat dan hakikat berada pada tahalli dan ma’rifat berada dalam tajalli.

C. KESIMPULAN

ü Dari pembahasan diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana/cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.

ü Tujuan dari tasawuf adalah untuk mencapai ma’rifat kepada Allah SWT dengan latihan-latihan ruhaniyah dengan metode-metode yang diambil dari Rasulullah Saw.

ü Ada beberapa maqamat-maqamat yang dilalui oleh seseorang akan bermujahadah kepada Allah SWT dan setiap sufi mempunyai perbedaan dalam melaluinya.

ü Ada pun Riyadlah kepada Allah melalui 3 tahapan yaitu takhalli, tahalli dan tajalli.

ü Syari’at, tariqat, hakikat dan ma’rifat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menjalankan ilmu tasawuf karena ke empat hal tersebut merupakan bagian dari proses tanjakan-tanjakan rohaniyah dalam usaha mengamalkan ilmu Tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Dinata. 2000. Akhlak Tasawuf, PT. Grapindo Raja Persada, Jakarta

Al-Ghazali. Ihya Ulum al-Din, Maktabah usaha keluarga, Semarang

A. Rivai Usman. 2003. Tasauf Salafi, Hikmah, Jakarta

Al-Qusyairi. 1995. Al-Risalah al-Qusayairiyah fi ‘ilmi al-Tashawuf, Maktabah. Mesir

Harun Nasution. 1999. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang. Jakarta

H.M. Jamil. 2007. Cakrawala Tasawuf sejarah, pemikiran dan Kontekstualitasnya, Gaung Persada Press. Jakarta

Muhammad Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang. Surabaya

Muhammad Effendi Saad. 2003. Rahasia Perjalanan Menuju Allah, Sinar Surya. Kalimantan Barat

Mustafa Zuhri. 1998. Kunci Memahami Tasawuf, PT. Bina Ilmu. Jakarta

Muhammad Ghalab, Al-Tasawuf al-Muqarin, Maktabah. Mesir

Muhammad Abdullah Asy Syarqawi. 2003. Sufisme dan Akal,terjemahan Halid AlKaf. Pustaka Hidayah. Bandung



[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h, 57

[2] A. Rivai Usman, Tasawuf Salafi, (Jakarta: Hikmah, 2002), h, 68

[3] Ibid, h. 29

[4] Al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyiriah, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1995), h, 138

[5] Harun Nasution, op.cit, h. 58

[6] Muhammad Ghalab, Al-Tashawuf al-Maqarin, (Mesir: Maktabah al-Nadhah, tt.), h, 27

[7] H.M.Jamil, Cakrawala Tasawuf sejarah pemikiran dan kontekstualitas, (Jakarta: Gaung Persada Press, cet.2, 2007), h. 5

[8] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tt), juz II, h. 376

[9] H.M. Jamil, op.cit, h. 7

[10] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h.180

[11] H.M. Jamil, Op.cit, hl. 15

[12] Moh. Saifulloh Al Aziz.S, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), h. 21

[13] Muhammad Abdullah asy-Syarqawi, Sufisme & Akal, terj. Halid Alkaf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), h. 29

[14] Moh. Saifulloh aziz.s. op.cit, h, 41

[15] Harun Nasution, op.cit, h, 27

[16] Riyadlah nafsi adalah suatu usaha yang dilakukan oleh kaum sufi dengan sungguh-sungguh dalam mensucikan hati.

[17] Musyahadatillah adalah terbukanya hijab antara mahluk dengan khaliq sehingga dapat menyaksikan Allah Swt.

[18] Op.cit, h.50

[19] Moh. Saifulloh Azis, Op.cit, h. 96

[20] Fana’ artinya hilang atau hancurnya kesadaran atau perasaan tentang adanya tubuh kasar manusia

[21] Sedangkan baqa’ artinya tetap, terus hidup. Jadi antara fana dan baqa adalah kembar dua

[22] Mastafa Zuhri, Kunci Memahami Tasauf,(Jakarta: PT Bina Ilmu, 1998), h, 56

[23] Dalam ilmu tasawuf dikatakan syari’at itu merupakan peraturan, tariqat itu merupakan pelaksanaan sedangkan hakikat merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan tujuan terakhir.