Jumat, 20 Maret 2009

NABI MUHAMMAD PEMIMPIN PANUTAN

Rasanya sulit mencari figur pemimpin yang menjadi panutan khususnya di Indonesia sekarang ini. kita sekarang memang sedang mengalami krisis panutan. Sejarah telah membuktikan hal itu. Sejak mardeka 63 tahun yang lalu, bangsa ini tampak selalu kurang tepat dalam mencari pemimpin dan sampai sekarang kita masih belum mempunyai pemimpin yang sejati. Pemimpin yang mempunyai visi membangun bangsa ke depan dan berhenti memimpin dengan manis (Happy ending). Mengapa itu semua terjadi ? disamping karena benturan kepemimpinan (vested of interest), egoisme dan ambisi politik, yang tidak lagi memperhatikan suara hati nurani dan aspirasi publik, tampaknya para pemimpin kita selama ini tidak memahami hakikat amanah kepemimpinan yang diembannya. Mereka lupa akan nilai esensial sebuah kepemimpinan, bahkan telah mengabaikan makna filosofis yang selalu melekat pada amanah kepemimpinan, jauh dari idealis kepemimpinan yang diteladankan oleh Nabi SAW (QS. Al-Ahzab: 21).

Lalu prinsip-prinsip kepemimpinan apa saja yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika berhasil membina Negara Madinah hingga menjadi negara yang demokratis, padahal beliau tidak tidak dilengkapi sarana Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif sebagaimana tren negara modern sekarang ini.

Sebanarnya ada beberapa prinsip kepemimpinan yang dikembangkan oleh Nabi yang cukup relevan untuk dijadikan panutan bangsa ini.

Pertama, prinsip khalifah yang menuntut kesadaran teologis seorang pemimpin bahwa ia harus memerankan diri sebagai mandataris Allah SWT dimuka bumi, dengan tugas pokok memakmurkan bumi dan mewujudkan sebesar-besarnya kemaslahatan bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Dalam kamus politik Nabi Muhammad SAW kepemimpinan bukanlah merupakan suatu tujuan tetapi kepemimpinan adalah sebagai wasilah (sarana) untuk mewujudkan tujuan diselenggarakannya kehidupan yaitu terciptannya keadilan masyarakat. Kemudian kepemimpinan juga bukan kenikmatan tetapi ia adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai kenikmatan umum, bukan kenikmatan kelompok, golongan apalagi kenikmatan pribadi. Selanjutnya kepemimpinan juga bukan fasilitas tetapi ia adalah strategi kebijakan publik yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin demi menyediakan sebanyak mungkin fasilitas umum dan fasilitas sosial demi kemaslahatan orang banyak.

Kedua prinsip al-amanah, prinsip ini sangat bertalian dengan mekanisme pertanggung jawaban kepemimpinan artinya kepemimpinan tidak semata-mata dilihat dari pencapaian prestasi struktur seorang pemimpin, tetapi juga berkelit dengan tata cara bagaimana prestasi itu dapat diraih yang kemudian akan ditimbang kadar kejujuran pencapiannya dalam pertanggung jawaban vertikal yang melibatkan “mata” Tuhan yang tembus pandang dan “intervensi” Tuhan yang tidak mungkin diajak kompromi. Karena kepemimpinan itu suatu amanah, dalam meraihnya harus dengan cara hak, fair, jujur dan tidak menabrak hukum, sehingga praktek kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik dan benar.

Ketiga prinsip al-‘adalah (keadilan). Sebagai konsekuwensi dari prinsip al-amanah, pemimpin harus bersikap adil. Keadilan harus ditegakkan, bukan hanya terhadap pihak-pihak yang seideologi dan seaspirasi, tapi juga terhadap mereka yang berseberangan dan tidak seideologi maupun politis. Dalam aspek politik misalnya, Nabi mengakomodir seluruh kepentingan. Semua rakyat mendapat hak yang sama dalam politik. Mereka tidak dibedakan berdasarkan suku, kelompok etnis, atau agama. Seluruh lapisan masyarakat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ideologi sukuisme dan nepotisme tidak dikenal Nabi. Sementara itu dalam asfek ekonomi Nabi mengaplikasikan ajaran egalitarianisme, yakni pemerataan saham-saham ekonomi kepada seluruh masyarakat. Seluruh lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama untuk berusaha dan berbisnis (QS.17:26, 59:7).

Disamping faktor politik dan ekonomi, hal yang sangat mendasar ditegakkan oleh Nabi adalah supreme of court (konsistensi hukum). Sebagai sejarawan ulung. Nabi memahami bahwa asfek hukum sangat urgen dan signifikan dalam kaitannya dengan stabilitas suatu bangsa. Karena itulah Nabi tidak membedakan,”kalangan atas”, “kalangan bawah” atau keluarganya sendiri. Dalam sebuah hadits nabi pernah memberikan peringatan dini bahwa: “kehancuran suatu bangsa dimasa lalu adalah karena jika orang atas melakukan kejahatan dibiarkan, namun jika orang bawah pasti dihukum”. Peringatan dini Nabi itu mengisyaratkan bahwa keadilan yang berhasil ditegakkan akan mengantarkan akan terjadinya pencerahan peradaban. Sebaliknya kekacauan, kekerasan dan kejahatan akan mencanbik dan mengoyak kehidupan masyarakat (bangsa), manakala hukum dan keadilan di “matikan”

Keempat prinsip keterbukaan (inklusivisme) artinya suatu pandangan yang melihat secara positif dan optimistis, yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS. 7:172 dan QS. 30:30) sebelum terbukti sebaliknya. Inklusivisme adalah kerendahan hati untuk tidak merasakan selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Inilah yang diperaktekan Nabi ketika memimpin negara Madinah. Tidak jarang beliau mendengar dan menerima kritik dari para sahabatnya, terlebih sahabat Umar bin Khathab yang terkenal sebagai kritikus ulung. Sahabat umar pun tidak dianggap rival, makar (bughat), anti kemapanan (contra-establishment), apalagi ektrim kanan oleh Nabi, meskipun berbagai kritikan tajam menerpa beliau.

Walhasil kedepan jelas bangsa ini butuh pemimpin sejati. Bukan hanya pemimpin yang hanya pintar tebar pesona tapi miskin karya. Bukan pemimpin bak “gasing” atau “yoyo”. Bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang mau mendengar segala keluh kesah masyarakatnya. Pemimpin yang mempunyai keteguhan prinsip dan hati nurani. Pemimpin yang sadar bahwa hidup dengan segala bentuk pertanggungjawabannya tidak hanya sebatas didunia ini. tetapi seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ada kehidupan didunia lain yang juga menuntut pertanggungjawaban serupa yaitu kehidupan akhirat. Inilah prinsip-prinsip yang kepemimpinan yang dipraktekkan oleh Nabi SAW dan harus kita teladankan.

Sumber: maksum