Jumat, 25 Februari 2011

ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA

Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan tolol, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syari’ah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa : sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk.

Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam. Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin seperti Al-Imam Al-‘Izz ibn ‘Abdissalaam, Al-Nawaawi, Al-Suyuuthi, Al-Mahalli dan Ibnu Hajar.Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.

Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari samudera syari’ah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks Al-Qur’an dan hadits yang mengikat.Salah satu contoh dari hadits-hadits di muka adalah hadits :كل بدعة ضلالة\”Setiap bid’ah itu sesat.\”Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah ( bid’ah tercela ) yang tidak termasuk dalam naungan dalil syar’i.

Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti :لاصلاة لجار المسجد إلا في المسجد\”Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid.\”Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, disamping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.

Seperti hadits :لاصلاة بحضرة الطعامTidak ada sholat di hadapan makanan Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak sempurna. لايؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسهTidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.والله لايؤمن والله لايؤمن والله لايؤمن ، قيل : من يا رسول الله ؟ قال : من لم يأمن جاره بوائقه . Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa terganggu dengannya”.

Para ulama menafsirkan dengan tidak adanya iman yang sempurna.لايدخل الجنة قتات ………. ، لايدخل الجنة قاطع رحم وعاق لوالديه Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk sorga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk sorga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan.Walhasil, para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.

Hadits di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum. Dalam sebuah hadits dijelaskan : من سنّ سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة\”Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat.\”عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين\”Berpegamg teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafat.\”‘Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai sholat tarawih : sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam).

PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH

Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat.

Karena itu Anda akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.

Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya.

Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) bid’ah diniyah ( keagamaan ) 2) bid’ah duniawiyyah ( keduniaan ). Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang ?

Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya. Rasulullah SAW sebagai Syari’ bersabda, “Setiap bid’ah itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian ; diniyyah yang sesat dan duniawiyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa. Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas, insya Allah.

Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah.

Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi SAW : من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد\”Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak.\”Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “ في أمرنا هذا ”. Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.

Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial.

Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, – ini adalah pendapat yang benar – dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail.

Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul. Semoga Allah meridloi para aimmatul ushul dan meridloi kajian mereka terhadap lafadh-lafadh yang shahih dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau interpretasi.

AJAKAN PARA AIMMATUTTASHAWWUF UNTUK MENGAPLIKASIKAN SYARIAH

Tashawwuf, obyek yang teraniaya dan senantiasa dicurigai, sangat minim mereka yang bersikap adil dalam menyikapinya. Justru sebagian kalangan dengan keterlaluan dan tanpa rasa malu mengkategorikannya dalam daftar karakter negatif yang mengakibatkan gugurnya kesaksian dan lenyapnya sikap adil, dengan mengatakan, “Fulan bukan orang yang bisa dipercaya dan informasinya ditolak.” Mengapa ? Karena ia seorang sufi. Anehnya, saya melihat sebagian mereka yang menghina tashawwuf, menyerang dan memusuhi pengamal tashawwuf bertindak dan berbicara tentang tashawwuf, kemudian tanpa sungkan mengutip ungkapan para imam tashawwuf dalam khutbah dan ceramahnya di atas mimbar-mimbar Jum’at kursi-kursi pengajaran.

Dengan gagah dan percaya diri ia mengatakan, “Berkata Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi.”Fudlail ibn ‘Iyaadl, Al-Junaid, Al-Hasan al-Bashri, Sahl Al-Tusturi, Al-Muhasibi, dan Bisyr al-Haafi adalah tokoh-tokoh tashawwuf yang kitab-kitab tashawwuf penuh dengan ucapan, informasi, kisah-kisah teladan, dan karakter mereka. Jadi, saya tidak mengerti, apakah ia bodoh atau pura-pura bodoh? Buta atau pura-pura buta?Saya ingin mengutip pandangan para tokoh tashawwuf menyangkut syari’ah Islam agar kita mengetahui sikap mereka sesungguhnya.

Karena yang wajib adalah kita mengetahui seseorang lewat pribadinya sendiri dan manusia adalah orang terbaik yang berbicara mengenai pandangannya dan yang paling dipercaya mengungkapkan apa yang dirahasiakan.Al-Imam Junaid RA berkata : “ Semua jalan telah tertutup bagi makhluk kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah, sunnahnya dan setia pada jalan ditempuh beliau. Karena semua jalan kebaikan terbuka untuk Nabi dan mereka yang mengikuti jejak beliau.

”Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Abu Yazid Al-Bastomi suatu hari berbicara pada para muridnya, “ Bangunlah bersamaku untuk melihat orang mempopulerkan dirinya sebagai wali. ” Lalu Abu Yazid dan murid-muridnya berangkat untuk mendatangi wali tersebut. Kebetulan wali tersebut hendak menuju masjid dan meludah ke arah kiblat. Abu Yazid pun berbalik pulang dan tidak memberi salam. “ Orang ini tidak dapat dipercaya atas satu etika dari beberapa etika Rasulullah, maka bagaimana mungkin ia dapat dipercaya atas klaimnya tentang kedudukan para wali dan shiddiiqin, “ kata Abu Yazid.Dzunnuun Al Mishri berkata, \”Poros dari segala ungkapan ( madaarul Kalam ) ada empat; Cinta kepada Allah Yang Maha Agung, benci kepada yang sedikit, mengikuti Al-Quran, dan khawatir berubah menjadi orang celaka.

Salah satu indikasi orang yang cinta kepada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Saw dalam budi pekerti, tindakan, perintah dan sunnahnya.\”As-Sirri As-Siqthi berkata, “Tashawwuf adalah identitas untuk tiga makna ; Shufi (pengamal tashawwuf) adalah orang yang cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya wara’nya, tidak berbicara menggunakan bathin menyangkut ilmu yang bertentangan dengan pengertian lahirial Al-Kitab dan As-Sunnah, dan karomahnya tidak mendorong untuk menyingkap tabir-tabir keharaman Allah. Abu Nashr Bisyr ibn Al Harits Al Hafi berkata, “ Saya bermimpi bertemu Nabi Saw. “ Wahai Bisyr, tahukah kamu kenapa Allah meninggikan derajatmu mengalahkan teman-temanmu? Tanya Beliau. “ Tidak tahu, Wahai Rasulullah,” Jawabku. “ Sebab Engkau mengikuti sunnahku, mengabdi kepada orang salih, memberi nasihat pada teman-temanmu dan kecintaanmu kepada para sahabat dan keluargaku. Inilah faktor yang membuatmu meraih derajat orang-orang yang baik ( Abror ).”Abu Yazid ibn ‘Isa ibn Thoifur Al-Bashthomi berkata, “Sungguh terlintas di hatiku untuk memohon kepada Allah agar mencukupi biaya makan dan biaya perempuan, kemudian saya berkata. “Bagaimana boleh saya memohon ini kepada Allah padahal Rasulullah tidak pernah memohon demikian.” Akhirnya saya tidak memohon ini kepada Allah. Kemudian Allah mencukupi biaya para perempuan hingga saya tidak peduli, apakah perempuan menghadapku atau tembok.

Abu Yazid juga pernah berkata, “Jika engkau memandang seorang laki-laki diberi beberapa karomah hingga ia mampu terbang di udara, maka janganlah engkau tertipu sampai engkau melihat bagaimana sikapnya menghadapi perintah dan larangan Allah, menjaga batas-batas yang digariskan Allah dan pelaksanaannnya terhadap syari’ah.” Sulaiman Abdurrahaman ibn ‘Athiah Al-Daaraani berkata, “Terkadang, selama beberapa hari terasa di hatiku satu noktah dari beberapa noktah masyarakat. Saya tidak menerima isi dari hati saya kecuali dengan dua saksi adil ; Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Abul Hasan Ahmad ibn Abil Hawaari berkata, “Siapapun yang mengerjakan perbuatan tanpa mengikuti sunnah Rasulullah maka perbuatan itu sia-sia.”

Abu Hafsh ‘Umar ibn Salamah Al-Haddaad berkata, “Barangsiapa yang tidak mengukur semua tindakannya setiap saat dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah, dan tidak berburuk sangka dengan apa yang terlintas dalam hatinya, maka janganlah ia dimasukkan dalam daftar para tokoh besar ( diwaanirrijaal ). Abul Qasim Al-Junaid ibn Muhammad berkata, “Siapapun yang tidak memperhatikan Al-Qur’an dan tidak mencatat Al-Hadits, ia tidak bisa dijadikan panutan dalam bidang ini (tashawwuf), karena ilmu kita dibatasi dengan Al-Kitab dan Al-Sunnah.”Ia juga berkata, “ Madzhabku ini dibatasi dengan prinsip-prinsip Al-Kitab dan Al-Sunnah dan ilmuku ini dibangun di atas fondasi hadits Rasulullah.” Abu ‘Utsman Sa’id ibn Ismail Al-Hairi berkata, “Saat sikap Abu Utsman berubah, maka anaknya, Abu Bakar merobek-robek qamis yang melekat pada tubuhnya, lalu Abu ‘Utsman membuka matanya dan berkata, “Wahai Anakku, mempraktekkan sunnah dalam penampilan lahiriah itu indikasi kesempurnaan batin.”Ia juga berkata, “Bersahabat dengan Allah itu dengan budi pekerti yang luhur dan

senantiasa takut kepada-Nya. Bersahabat dengan Rasulullah itu dengan mengikuti sunnahnya dan senantiasa mempraktekkan ilmu lahiriah. Bersahabat dengan para wali dengan menghormati dan mengabdi. Bersahabat dengan keluarga itu dengan budi pekerti yang baik. Bersahabat dengan kawan-kawan itu dengan senantiasa bermuka manis sepanjang bukan perbuatan dosa. Dan bersahabat dengan orang bodoh itu dengan mendoakan dan rasa belas kasih. Ia juga berkata, “Barangsiapa yang memposisikan As-Sunnah sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan hikmah. Dan barangsiapa memposisikan hawa nafsu sebagai pimpinannya dalam ucapan dan tindakan maka ia akan berbicara dengan bid’ah. Allah SWT berfirman yang Artinya : \”Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.\” ( Q.S.An.Nuur : 54 )Abul Hasan Ahmad ibn Muhammad Al-Nawawi mengatakan, “Jika engkau melihat orang yang mengklaim kondisi bersama Allah yang membuatnya terlepas dari batasan ilmu syari’at maka janganlah engkau mendekatinya.”Abul Fawaris Syah ibn Syuja’ Al-Karmani berkata, “Barangsiapa memejamkan matanya dari hal-hal yang diharamkan, mengendalikan nafsunya dari syahwat, menghidupkan bathinnya dengan senantiasa merasakan kehadiran Allah ( muraqabat ) dan menghidupkan keadaan lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, dan membiasakan diri memakan barang halal, maka firasatnya tidak akan meleset.”Abul Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Sahl ibn ‘Atha’ mengatakan, “Barangsiapa menekan dirinya untuk mengamalkan etika-etika syari’at maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifat dan dianugerahi kedudukan mengikuti Al-Habib Rasulullah SAW dalam segala perintah, larangan dan budi pekerti beliau SAW.” Ia juga mengatakan, “Semua yang ditanyakan kepadaku carilah pada belantara syari’at. Jika engkau tidak menemukannya, carilah di medan hikmah. Jika tidak menemukannya, takarlah dengan tauhid. Dan jika tidak menemukannya di tiga tempat pencarian ini, maka lemparkanlah ia ke wajah setan.”

Abu Hamzah Al-Baghdadi Al-Bazzar mengatakan, “Siapapun yang mengetahui jalan Allah maka Dia akan memudahkan untuk menempuhnya. Dan tidak ada petunjuk jalan menuju Allah kecuali mengikuti Rasulullah SAW dalam sikap, tindakan dan ucapan beliau.” Abu Ishaq Ibrahim ibn Dawud Al-Ruqi mengatakan, “ Indikator cinta kepada Allah adalah memprioritaskan ketaatan kepada Allah dan mengikuti Nabi-Nya SAW.”Mamsyad Ad-Dinawari berkata, “Etika murid adalah selalu dalam menghormati masyayikh ( guru ), membantu kawan-kawan, terlepas dari faktor-faktor penyebab, dan menjaga etika syari’at untuk dirinya.” Abu Abdillah ibn Munazil berkata, “Tidak ada seseorangpun yang menelantarkan salah satu kefardluan Allah kecuali Allah akan menimpakan musibah dengan menyia-nyiakan sunnah. Dan Allah tidak menimpakan musibah seseorang dengan menelantarkan sunnah kecuali ia hendak diberi musibah dengan bid’ah.”

SUBSTANSI KELOMPOK IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI ( ASYA’IRAH )

Banyak kaum muslimin tidak mengenal madzhab Al-Asya’irah ( kelompok ulama penganut madzhab Imam Asy’ari ) dan tidak mengetahui siapakah mereka, dan metode mereka dalam bidang aqidah. Sebagian kalangan, tanpa apriori, malah menilai mereka sesat atau telah keluar dari Islam dan menyimpang dalam memahami sifat-sifat Allah. Ketidaktahuan terhadap madzhab Al-Asya’irah ini adalah faktor retaknya kesatuan kelompok ahlussunnah dan terpecah-pecahnya persatuan mereka, sehingga sebagian kalangan yang bodoh memasukkan Al-Asya’irah dalam daftar kelompok sesat. Saya tidak habis pikir, mengapa kelompok yang beriman dan kelompok sesat disatukan ? Dan mengapa ahlussunnah dan kelompok ekstrim mu’tazilah (Jahmiyyah) disamakan ?35. \”Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa ( orang kafir ).\” ( Q.S.Al.Qalam : 35 )Al-Asya’irah adalah para imam simbol hidayah dari kalangan ulama muslimin yang ilmu mereka memenuhi bagian timur dan barat dunia dan semua orang sepakat atas keutamaan, keilmuan dan keagamaan mereka. Mereka adalah tokoh-tokoh besar ulama ahlissunnah yang menentang kesewenang-wenangan mu’tazilah.

Dalam versi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Asya’irah digambarkan sbb : Para ulama adalah pembela ilmu agama dan Al-Asya’irah pembela dasar-dasar agama ( ushuluddin ). Al-Fataawaa, volume 4.Al-Asya’irah ( penganut madzhab Al-Asy’ari ) terdiri dari kelompok para imam ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tafsir seperti :• Syaikhul Islam Ahmad ibn Hajar Al-‘Asqalani, yang tidak disangsikan lagi sebagai gurunya para ahli hadits, penyusun kitab Fathul Baari ‘ala Syarhil Bukhaari. • Syaikhu Ulamai Ahlissunnah, Al-Imam An-Nawaawi, penyusun Syarh Shahih Muslim, dan penyusun banyak kitab populer.• Syaikhul Mufassirin Al-Imam Al-Qurthubi penyusun tafsir Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur’an.• Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami, penyusun kitab Az-Zawaajir ‘aniqtiraafil Kabaa’ir.• Syaikhul Fiqh , al-hujjah ( argumentasi ) dan ats-tsabat ( tokoh ulama yang dipercaya ) Zakaaria Al-Anshari.• Al-Imam Abu Bakar Al-Baaqilani• Al-Imam Al-Qashthalani.• Al-Imam An-Nasafi• Al-Imam Asy-Syarbini• Abu Hayyan An-Nahwi, penyusun tafsir Al-Bahru Al-Muhith.• Al-Imam Ibnu Juza, penyusun At-Tashil fi ‘Uluumittanziil.• Dsb.

Seandainya kita menghitung jumlah ulama besar dari ahli hadits, tafsir dan fiqh dari kalangan Al-Asya’irah, maka keadaan tidak akan memungkinkan dan kita membutuhkan beberapa jilid buku untuk merangkai nama para ulama besar yang ilmu mereka memenuhi wilayah timur dan barat bumi. Adalah salah satu kewajiban kita untuk berterimakasih kepada orang-orang yang telah berjasa dan mengakui keutamaan orang-orang yang berilmu dan memiliki kelebihan yakni para tokoh ulama, yang telah mengabdi kepada syari’at junjungan para rasul Muhammad SAW.

Kebaikan apa yang bisa kita peroleh jika kita menuding para ulama besar dan generasi salaf shalih telah menyimpang dan sesat ? Bagaimana Allah akan membukakan mata hati kita untuk mengambil manfaat dari ilmu mereka bila kita meyakini mereka telah menyimpang dan tersesat dari jalan Islam?Saya ingin bertanya, “Adakah dari para ulama sekarang dari kalangan doktor dan orang-orang jenius, yang telah mengabdi kepada hadits Nabi SAW sebagaimana dua imam besar ; Ibnu Hajar Al-‘Asqqalani dan Al-Imam An-Nawawi, semoga Allah melimpahkan rahmat dan keridloan kepada mereka berdua.” Lalu mengapa kita menuduh sesat mereka berdua dan ulama Al-Asya’irah yang lain, padahal kita membutuhkan ilmu-ilmu mereka ? Mengapa kita mengambil ilmu dari mereka jika mereka memang sesat? Padahal Al-Imam Ibnu Sirin rahimakumullah pernah berkata : Ilmu hadits ini adalah agama maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian. Apakah tidak cukup bagi orang yang tidak sependapat dengan para imam di atas, untuk mengatakan, “Mereka rahimahullah telah berijtihad dan mereka salah dalam menafsirkan sifat-sifat Allah.

Maka yang lebih baik adalah tidak mengikuti metode mereka.” Sebagai ganti dari ungkapan kami menuduh mereka telah menyimpang dan sesat dan kami marah atas orang yang mengkategorikan mereka sebagai ahlussunnah. Bila Al-Imam An-Nawawi, Al-‘Asqalani, Al-Qurthubi, Al-Fakhrurrazi, Al-Haitami dan Zakaria Al-Anshari dan ulama besar lain tidak dikategorikan sebagai ahlussunnah wal jama’ah, lalu siapakah mereka yang termasuk ahlussunnah wal jama’ah?.Sungguh, dengan tulus kami mengajak semua pendakwah dan mereka yang beraktivitas di medan dakwah Islam untuk takut kepada Allah dalam menilai ummat Muhammad, khususnya menyangkut tokoh-tokoh besar ulama dan fuqaha’. Karena, ummat Muhammad tetap dalam kondisi baik hingga tiba hari kiamat. Dan tidak ada kebaikan bagi kita jika tidak mengakui kedudukan dan keutamaan para ulama kita sendiri.

ESENSI-ESENSI YANG SELESAI DENGAN KAJIAN

Polemik berkembang di antara ulama menyangkut banyak substansi persoalan dalam bidang aqidah, yang Allah tidak membebani kita untuk mengkajinya. Dalam pandangan saya polemik ini telah menghilangkan keindahan dan keagungan substansi masalah ini. Misalkan, pro kontra para ulama menyangkut melihatnya Nabi SAW kepada Allah dan bagaimana cara melihatnya, dan perbedaan yang luas antara mereka menyangkut persoalan ini. sebagian berpendapat Nabi melihat Allah dengan hatinya, dan sebagian berpendapat dengan mata. Kedua kubu ini sama-sama mengajukan argumentasi dan membela pendapatnya dengan hal-hal yang tak berguna.

Dalam pandangan saya perbedaan ini tidak berguna sama sekali. Justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat yang didapat. Apalagi jika masyarakat awam mendengar polemik yang pasti menimbulkan keragu-raguan di hati mereka ini. Jika kita mau mengesampingkan polemik ini dan menganggap cukup dengan menyajikan sunstansi persoalan ini apa adanya maka niscaya persoalan ini tetap dimuliakan dan dihargai dalam sanubari kaum muslimin, dengan cara kita mengatakan bahwa Rasulullah SAW melihat Tuhannya.

Cukup kita berkata demikian sedangkan menyangkut cara melihat dan lain sebagainya biarlah menjadi urusan Nabi. وكلم الله موسى تكليما*Salah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang berkembang di antara para ulama menyangkut substansi firman Allah SWT dan perbedaan luas dalam masalah ini. sebagian berpendapat bahwa firman Allah adalah suara hati ( kalam nafsi ) dan sebagian lagi berpendapat bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara. Saya sendiri berpendapat kedua pihak ini sama-sama mencari substansi mensucikan Allah dan menjauhi syirik dalam berbagai bentuknya.

Persoalan kalam ( firman Allah ) adalah kebenaran yang tidak bisa diingkari, karena tidak meniadakan kesempurnaan ilahi. Ini adalah pandangan dari satu aspek. Ditinjau dari aspek lain, sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib dipercayai dan ditetapkan, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri. Apa yang saya yakini dan saya ajak adalah menetapkan kebenaran ini tanpa perlu membicarakan bagaimana cara dan bentuknya. Kita tetapkan bahwa Allah memiliki sifat kalam dan berkata : Ini adalah kalam Allah dan Allah SWT adalah Dzat yang berbicara. Kita cukup berbicara seperti ini dan menjauhi mengkaji apakah kalam itu kalam nafsi atau kalam yang bukan nafsi yang berhuruf dan bersuara atau tidak berhuruf dan tidak bersuara.

Karena pembahasan seperti ini berlebihan, yang Nabi Muhammad sebagai pembawa tauhid tidak pernah membicarakannya. Lalu mengapa kita menambahkan apa yang datang dibawa oleh Nabi ? Bukankah hal semacam ini adalah salah satu bid’ah terburuk ? Subhaanaka Haadzaa Buhtaanun ‘Adhiim. Rasulullah SAW mengabarkan kepada kita tentang kalam pada saat kita berkumpul dengan beliau di sisi Allah SWT.

Kami mengajak agar pembicaraan kita selamanya menyangkut substansi kalam dan masalah sejenis terlepas dari pembahasan mengenai cara dan bentuknya.إني أراكم من خلفي*Saya Mampu Melihatmu dari BelakangSalah satu subsatansi persoalan di atas adalah polemik yang terjadi di antara ulama menyangkut substansi sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya saya bisa melihat kalian dari belakang sebagaimana dari arah depan.” Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah SWT menciptakan dua mata di arah belakang.

Sebagian berpendapat bahwa Allah SWT menjadikan kedua mata beliau yang di depan memiliki kekuatan yang mampu menembus bagian belakang. Sebagian lagi berpendapat bahwa Allah SWT membalik obyek yang ada di belakang Nabi sehingga berada di depan beliau. Semua ini adalah interpretasi berlebihan yang membuat persoalan ini kehilangan keindahan dan keelokannya sekaligus meredupkan kewibawaan dan keagungannya di hati manusia. Adapun keberadaan Nabi mampu melihat orang yang berada di belakang sebagaimana melihat orang yang ada di depan maka ini adalah fakta yang telah disampaikan beliau sendiri dalam hadits shahih.

Maka tidak ada ruang sama sekali untuk membantahnya. Namun apa yang saya ajak dan menjadi pendapat saya adalah menetapkan fakta ini apa adanya tanpa perlu mengkaji cara dan bentuknya. Kita wajib meyakini kemungkinan terjadinya dan dampaknya, dengan cara menyaksikan salah satu hal yang di luar kebiasaan yang meminggirkan faktor penyebab untuk menampakkan kekuasaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa serta kedudukan Rasulullah SAW. جبريل يتمثل رجلا*Jibril Menyamar sebagai Seorang LelakiPara ulama bersilang sengketa menyangkut penyamaran Jibril AS saat datang membawa wahyu dalam bentuk seorang lelaki padahal fisik Jibril sangat luar biasa besar.Sebagian berpendapat bahwa Allah membuang kelebihan dari fisiknya. Sebagian lain menyatakan sebagian fisiknya menyatu dengan yang lain sehingga menyusut menjadi kecil. Menurut hemat saya interpretasi ini tidak berguna. Saya meyakini Allah mampu membuat Jibril menyamar dalam bentuk seorang laki-laki dan ini merupakan fakta yang telah disaksikan oleh banyak sahabat.

Bagi saya tidaklah penting mengetahui cara penyamaran Jibril dalam bentuk seorang laki-laki dan saya mengajak saudara-saudara kita sesama pelajar untuk menyampaikan fakta ini tanpa perlu menyinggung perbedaan-perbedaan yang menyertainya agar fakta ini tetap besar dan agung dalam hati.

Sumber: Prof. DR. Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani