Abstract
Within the rapid change and advancement
of science, technology, and environment, it is hard for a traditional
organization to survive and develop without transforming itself to be a
learning organization. This article reviews theoretically what a learning
organization is, how an organization learns, and the leader’s role in a
learning organization. It is strongly believed that the old paradigm of
leadership based on the classic theories has to be replaced with the new
paradigm based on the learning organization principles.
PENDAHULUAN
Sunguhpun terdapat berbagai rumusan
tentang pengertian organisasi, secara umum organisasi diartikan sebagai wadah
tempat dua orang atau lebih bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Organisasi biasanya didirikan agar upaya mencapai tujuan dapat dilakukan lebih
efisien dan lebih efektif. Prinsip efisiensi dan efektivitas sangat penting
dalam organisasi dan pada umumnya seseorang masuk atau menjadi anggota
organisasi agar tujuan pribadi atau kelompoknya dapat tercapai lebih efisien
dan efektif.
Organisasi dapat dibedakan berdasarkan tujuannya dan tujuan itu mengandung
nilai spesifik yang menjadi ciri khas organisasi itu dan membedakannya dengan
organisasi lain. Organiasi komersial atau profit making organization
berbeda dengan organisasi sosial atau non-profit making organization,
karena tujuan serta nilai yang dianut dan diterapkan kedua jenis organisasi itu
berbeda dan perbedaan nilai itu pula membuat prilaku masing-masing organisasi
itu berbeda pula. Dalam membuat keputusan, organisasi komersial akan menjadikan
keuntungan dan kerugian secara finansial/material sebagai kriteria penentu,
sedangkan organisasi sosial akan menjadikan keuntungan dan kerugian aspek-aspek
sosial sebagai acuan utama. Kedua jenis organisasi itu mengutamakan efisiensi
dan efektifitas dengan menggunakan prinsip meminimalkan kerugian dan
memaksimalkan keuntungan, tetapi masing-masing organisasi itu menggunakan nilai
dan standar ukuran yang berbeda.
Organisasi sering dianalogkan dengan organisme atau mahluk hidup yang
lahir, tumbuh, berkembang, dan pada saatnya akan mati pula. Analog itu terlihat
misalnya, ketika Simon (1997: 305 ) mengatakan bahwa tidak ada suatu resep pun
yang dapat dipergunakan untuk semua organisasi yang sakit karena penyakit
organisasi beraneka ragam. Demikian juga Marquardt (1996:219-220) menjelaskan
transformasi organisasi seperti ulat yang mengalami perubahan bentuk melalui
proses metamorfosis. Penggunaan istilah prilaku organisasi (organizational
behavior) dalam teori organisasi menunjukkan, organisasi itu dianggap
sebagai suatu mahluk hidup, bergerak, dan bertindak secara terpola.
Agar dapat mencapai tujuan secara efisien dan efektif serta dapat bertahan,
tumbuh, dan berkembang maka sebagai mahluk hidup, organisasi perlu membenahi
dirinya melalui belajar. Betapapun kuat dan besarnya, sebuah organisasi tidak
akan mampu bertahan dan berkembang, serta akan punah apabila tidak melakukan
penyesuaian diri selaras dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, sosial, ilmu
pengetahuan, teknologi, serta lingkungan. Kematian organisasi yang demikian
tidak ubahnya seperti kepunahan dinosaurus, binatang raksasa purba, yang tidak
mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan dan perkembangan lingkungannya
(Marquardt, 1996:1). Agar dapat bertahan, berkembang, dan mampu berkompetisi
dan berkolaborasi dengan organisasi lain, organisasi perlu belajar.
Dengan membanding-bandingkan bagaimana belajar didefinisikan oleh berbagai ahli
psikologi dan ahli pendidikan (Glenn E. Snelbecker,1974: 12-15), pada
hakikatnya belajar dapat diartikan sebagai upaya manusia yang secara sadar,
berencana, dan sistematis untuk mengubah prilaku ke arah yang lebih baik dan
bersifat relatif menetap. Merujuk pada istilah metanoia dalam bahasa
Junani, Senge ( dalam Fullan, 2007 ) menyatakan bahwa hasil belajar itu
diharapkan dapat menghasilkan perubahan yang mendasar pada diri seseorang dan
terlihat pada prilaku. Hasil belajar itu dipergunakan untuk mengatasi masalah
dan mengembangkan kualitas hidup sehingga lebih baik, di dunia maupun di
akhirat. Hakikat belajar yang demikian juga berlaku untuk organisasi. Melalui
proses belajar, organisasi diharapkan melakukan perubahan prilakunya secara
sadar serta nyata menjadi lebih berkualitas mulai dari tahap perencanaan sampai
pelaksanaan dan pengawasan sehingga mampu meningkatkan kualitas kinerja serta
memungkinkannya bertahan dan berkembang sesuai dengan tuntutan lingkungan dan
zamannya.
Di dalam organisasi terdapat sejumlah orang yang fungsi, tugas, serta tanggung
jawabnya diatur sesuai dengan pembagian wewenang (devision of authority)
yang ditetapkan oleh organisasi. Pembagian wewenang dapat terlihat pada
struktur organisasi dan uraian tugas dan fungsi masing-masing unit dalam
organisasi. Setiap unit atau anggota organisasi berprilaku atau berimprovisasi
dalam wilayah wewenang (discretion of authority) yang ditetapkan oleh
organisasi itu. Sekecil apapun serta bagaimanapun bentuknya, setiap organisasi
melakukan pembagian wewenang untuk menghindari tumpang tindih dan konflik dalam
organisasi. Keluarga baru yang terdiri atas atas dua orang, suami dan
istri, merupakan sebuah organisasi yang sangat kecil. Namun, dalam
organisasi yang demikian pun terjadi pembagian wewenang antara suami dan istri.
Wewenang itu lah yang antara lain membedakan kedudukan antara suami dan istri.
Pembagian wewenang membedakan antara
pemimpin dan anggota organisasi. Pemimpin memegang peranan yang sangat
menentukan dalam kehidupan organisasi. Pemimpin, menurut Thomas E. Cronin yang
dikutip oleh Nanus dan Dobbs ( 1999: 7), adalah orang yang memahami apa yang
diperlukan, apa yang benar dan bagaimana memobilisasi sumber daya yang ada
untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan dilihat dari fungsi dan hubungannya
dengan orang lain, menurut Howard Gardner yang juga dikutip oleh Nanus dan.
Dobbs ( 1999: 7), pemimpin adalah individu yang secara signifikan mempengaruhi
pikiran, prilaku dan/atau perasaan orang lain. Dengan demikian, dapat juga
dimaknai bahwa pemimpin menempati kedudukan startegis dan memegang peranan
menentukan dalam organisasi belajar. Lebih jauh lagi, prilaku dan kinerja
pemimpin menentukan kehidupan dan nasib organisasi.
MASALAH
Dalam berbagai konteks, organisasi sering
dipersonifikasi termasuk dalam penyebutan organisasi belajar. Akan tetapi dalam
kenyataannya, penyebutan itu lebih banyak berkaitan dengan semua anggota
organisasi, sungguhpun dalam kenyataannya diakui bahwa pemimpin memegang
peranan yang menentukan dalam keberhasilan organisasi belajar. Dengan demikian,
agar organisasi tidak hanya dapat bertahan, tetapi berkembang dan mampu
bersaing, apakah perlu juga dilakukan perubahan dalam kepemimpinan? Bagaimana
kedudukan pemimpin dalam organisasi belajar? Bagaimana cara memimpin organisasi
belajar? Pola dan tipe kepemimpinan yang bagaimana yang sesuai dalam membuat
organisasi belajar? Tulisan ini mencoba mengkaji dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
PEMBAHASAN
Untuk dapat menjawab pertanyaan itu,
perlu ditelaah lebih lanjut tentang hakikat organisasi belajar itu sendiri,
kepemimpinan serta pola dan tipe kepemimpian .
Organisasi Belajar
Hakikat organisasi belajar
Perlunya organisasi belajar sudah
disadari sejak tahun delapan puluhan, akan tetapi baru pada tahun
sembilanpuluhan, istilah organisasi belajar (learning organization)
dipopulerkan oleh Senge dalam bukunya The Fifth Disciplin. Menurut
Senge (1990:3), organisasi belajar adalah “… organizations where people
continually expand their capacity to create the results they truly desire,
where new and expansive patterns of thinking are nutured, where collective
aspiration is set free, and where people are continually learning to see the
whole together.” Pendapat Senge itu menunjukkan bahwa organisasi merupakan
tempat orang secara terus menerus memperluas kemampuan untuk mewujudkan apa
yang sesungguhnya mereka inginkan, tempat pola-pola berpikir yang baru dan
ekspansif dikembangkan, tempat mencurahkan secara bebas aspirasi
kolektif, dan tempat orang secara terus menerus belajar melihat keseluruhan
secara bersama-sama. Tidak jauh berbeda dari yang dikemukakan Senge,
Marquardt ( 1996:229) mendefinisikan organisasi belajar adalah ”…
an organization which learns powerfully and collectively and is continually
transforming itself to better collect, manage, and use knowledge for corporate
success.” Dalam pengertian ini organisasi belajar merupakan
organisasi yang belajar secara bersama-sama dengan sekuat tenaga dan
terus menerus mentransformasikan diri untuk mengumpulkan, mengelola, dan
menggunakan pengetahuan dengan lebih baik untuk keberhasilan organisasi.
Organisasi memberdayakan orang di dalam dan di luar organisasi untuk
belajar ketika mereka bekerja dan memanfaatkan teknologi untuk
memaksimalkan belajar dan berproduksi.
Sunguhpun pengertian organisasi belajar dirumuskan secara berbeda oleh Senge
dan Marquard, kedua pengertian itu mempunyai asumsi yang sama bahwa setiap
individu memiliki kemampuan atau potensi yang tersimpan pada dirinya yang dapat
dan perlu dikembangkan untuk mencapai tujuan organisasi. Kedua-duanya juga
mengandung makna bahwa semua orang dalam organisasi secara individu dan/atau
dalam kelompok (kolektif) dapat dan perlu melakukan kegiatan belajar secara
bebas dan terus menerus untuk meningkatkan kinerja organisasi. Masing-masing
individu atas dasar dorongan dari dirinya sendiri (motivasi internal) atau
dorongan dari lingkungannya dalam organisasi (motivasi eksternal)
berupaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk dapat berprestasi
lebih baik. Upaya belajar yang demikian juga dilakukan secara kelompok dalam
organisasi. Hasil belajar secara individu dan kelompok yang dilakukan secara
terencana dan terus menerus itu akan meningkatkan kinerja individu dan kelompok
serta pada gilirannya akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan.
Salah satu ciri khas organisasi belajar ialah bahwa kegiatan belajar itu
dilakukan atas dasar kesadaran individu dan kelompok untuk meningkatkan
kualitas kinerja organisasi..
Organisasi belajar juga menerapkan prinsip belajar seumur hayat (lifelong
learning) yang berarti organisasi itu tidak pernah berhenti belajar. Proses
belajar akan berhenti kalau organisasi itu telah dibubarkan oleh karena
tujuannya telah tercapai sehingga tidak diperlukan lagi atau bubar dengan
sendirinya karena tidak mampu bertahan hidup. Dengan perkataan lain, dapat juga
diartikan bahwa dinamika kehidupan organisasi ditentukan oleh proses dan
kualitas belajar organisasi itu. Organisasi yang rajin dan tekun belajar serta
menerapkan perolehan belajarnya untuk mengubah dan meningkatkan kualitas
prilakunya, akan mampu mengembangkan dirinya dalam usia yang panjang.
Sebaliknya, organisasi yang enggan atau malas belajar tidak akan mampu
berkiprah secara dinamis sehingga tidak mampu bertahan dan bersaing. Organisasi
yang demikian cenderung tidak akan bertahan lama serta mungkin sudah bubar
dalam usia dini.
Organisasi belajar melakukan perubahan prilaku menjadi lebih baik tidak
semata-mata sebagai reaksi terhadap rangsangan dari luar, tetapi juga merupakan
usaha proaktif atas dasar kesadaran dari dalam sebagai hasil belajar yang
dilakukan secara terus menerus. Usaha proaktif dan dilakukan secara sistematis
inilah yang membedakan perubahan yang dilakukan oleh oganisasi belajar sebagai
hasil belajar organisasi. Senge (2000) dan juga dalam Fullan (2007: 13)
menyebutkan bahwa survival learning atau adaptive learning memang
dilakukan organisasi sebagai reaksi terhadap masalah-masalah yang dihadapi
sehingga dapat bertahan hidup. Akan tetapi dalam learning organization
itu saja tidak cukup, diperlukan juga generative kearning,
belajar secara proaktif dan kreatif mengembangkan kemampuan/potensi yang
dimiliki untuk menciptakan masa depan yang lebih baik dengan mengantisipasi
keadaan dan tantangan di masa yang akan datang sehingga organisasi itu tidak
hanya mampu bertahan hidup tetapi juga dapat terus berkembang.
Perubahan dalam organisasi juga dilakukan
melalui pengembangan organisasi agar organisasi itu dapat bertahan hidup.Bahkan
perubahan dengan cara ini sudah lama dilakukan. Membedakan perubahan yang
dilakukan melalui pengembangan organisasi dengan yang dilakukan melalui
organisasi belajar, Miarso (2004:189) menjelaskan bahwa perubahan
yang dilakukan melalui pengembangan organisasi adalah sebagai reaksi atas
rangsangan atau pengaruh dari luar. Perubahan yang dilakukan pada umumnya
berkaitan dengan struktur organisasi, uraian tugas (job description),
dan fasilitas serta lingkungan kerja dan kurang terkait dengan
individu-individu dalam organisasi. Perubahan yang semata-mata atas dasar pengaruh
dari luar ini, biasanya membuat organisasi hanya bertahan hidup dan lamban
berkembang, sehingga tidak mampu bersaing dan lambat laun akan bubar.
Linda Morris, sebagaimana dikutip oleh
Marquardt dan Reynolds (1994:21), mengamati bahwa dalam organisasi belajar
terlihat (1) perkembangan dan belajar sesorang dikaitkan dengan perkembangan
dan belajar organisasi secara khusus dan terstruktur; (2) berfokus pada
kreativitas dan adaptability; (3) semua regu merupakan bagian dari
proses belajar dan bekerja; (4) jaringan kerja sangat penting dalam belajar dan
menyelesaikan pekerjaan; (5) berpikir sistem adalah fundamental; (6) memiliki
visi yang jelas di mana mereka berada dan ke mana tujuan mereka; dan (7) secara
terus menerus melakukan transformasi dan berkembang.
Marquardt (1996: 19), mengidentifikasi
ciri organisasi belajar lebih lengkap dari pada yang dikemukakan Linda Moris,
yakni: (1) belajar dilakukan melalui sistem organisasi secara keseluruhan
dan organisasi seakan-akan mempunyai satu otak; (2) semua anggota
organisasi menyadari betapa pentingnya organisasi belajar secara terus menerus
untuk keberhasilan organisasi pada waktu sekarang dan akan datang; (3) belajar
merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus serta dilakukan
berbarengan dengan kegiatan bekerja; (4) berfokus pada kreativitas dan generative
learning; (4) menganggap berpikir system adalah sangat penting, (5) dapat
memperoleh akses ke sumber informasi dan data untuk keperluan keberhasilan
organisasi; (6) iklim organisasi mendorong, memberikan imbalan, dan mempercepat
masing-masing individu dan kelompok untuk belajar; (6) orang saling berhubungan
dalam suatu jaringan yang inovatif sebagai suatu komunitas di dalam dan di luar
orgaisasi; (7) perubahan disambut dengan baik, kejutan-kejutan dan bahkan
kegagalan dianggap sebagai kesempatan belajar; (8) mudah bergerak cepat dan
fleksibel; (9) Setiap orang terdorong untuk meningkatkan mutu secara
terus menerus; (10) kegiatan didasarkan pada aspirasi, reffleksi, dan konseptualisasi;
(11) memiliki kompetensi inti (core competence) yang dikembangkan dengan
baik sebagai acuan untuk pelayanan dan produksi; dan (12) memiliki kemampu
untuk melakukan adaptasi, pembaharuan, dan revitalisasi sebagai jawaban atas
lingkungan yang berubah.
Ciri organisasi belajar seperti yang
dikemuka Linda Moris dan Marquard menunjukkan, organisasi memiliki lingkungan,
iklim, serta budaya yang tidak hanya mendorong orang dalam organisasi itu
belajar secara perorangan dan bersama-sama, tetapi juga mempercepat proses
belajar itu sendiri untuk meningkatkan kinerja organisasi. Belajar dan saling
membelajarkan menjadi kebutuhan individu dan kelompok serta bukan menjadi beban
karena mereka merasakan kepuasan sendiri dalam menikmati hasil belajar berupa
pengetahuan atau keterampilan baru dan keberhasilan kerja mereka.
Masing-masing orang menemukan kegembiraan, kebanggaan, dan tantangan dalam
bekerja. Perubahan yang terjadi secara terus menerus sebagai hasil belajar
membuat iklim organisasi semakin bergairah. Organisasi dapat dianggap
sebagai sekelompok pekerja yang diberdayakan dan menghasilkan pengetahuan,
produk, dan jasa baru.
Mengapa Organisasi Perlu Belajar?
Ungkapan yang yang mengatakan, tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini
kecuali perubahan, menunjukkan bahwa perubahan telah terjadi dan manusia
mengalaminya sejak berada di dunia ini. Dewasa ini manusia hidup dalam
era perubahan yang sedemikian cepat. Perubahan itu mencakup hampir di semua
bidang kehidupan manusia, baik disebabkan oleh manusia itu sendiri maupun oleh
lingkungannya. Perubahan itu kadang-kadang terjadi begitu cepat khususnya di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak mudah secara akurat
melakukan prediksi keadaan yang terjadi pada waktu yang akan datang. Semakin
jauh ke depan prediksi yang dilakukan, semakin sarat dengan ketidakpastian
dengan berbagai kemungkinan.
Menurut Marquardt ( 1996: 3-4), dalam tahun-tahun terakhir abad ke 20 telah
terjadi perubahan yang sangat berarti dalam (a) lingkungan ekonomi, sosial, dan
ilmu pengetahuan, (b) lingkungan tempat bekerja, (c) pelanggan, dan (d)
pekerja. Perubahan itu dipicu oleh globalisasi, persaingan ekonomi dan
pemasaran, tekanan lingkungan dan ekologi, ilmu pengetahuan, dan tuntutan kuat
masyarakat. Drastis dan besarnya perubahan di keempat bidang itu mengakibatkan
organisasi tidak dapat mengatasi masalah-masalah dengan mengandalkan cara-cara
konvensional. Pengelolaan organisasi tidak dapat lagi dilakukan dengan
menerapkan pengetahuan, strategi, kepemimpinan dan teknologi masa lalu. Kalau
ingin tetap bertahan dan berkembang dalam lingkungan yang sarat dengan
perubahan, organisasi perlu meningkatkan kemampuan belajarnya.
Perubahan-perubahan yang terus menerus terjadi juga mendorong perubahan cara
berpikir manusia menanggapi dunia atau apa yang disebut Lincoln (1985: 29)
dengan istilah paradigma atau Weltanschauung. Sebagai contoh Reigeluth
(1994:5) memberikan contoh perubahan sarana transportasi, keluarga, perusahaan,
dan pendidikan dari era pertanian, ke era industri, sampai ke era informasi.
Akibat perubahan lingkungan di tempat bekerja, Regeluth (1985:8)
menggambarkan terjadi perubahan di bidang pendidikan dari era industri ke era
informasi, sebagai berikut:
Perubahan Sistem Pendidikan dari Era
Industri ke Era Informasi
Akibat Perubahan di Lingkungan Kerja
Sumber: Prof.
Dr.Bintang Setepu